Ritual “Temanten Kucing” yang digelar
warga Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa
Timur, tak bisa dilepaskan dari tradisi nenek moyang mereka. Tradisi
itu merupakan bagian dari upaya warga untuk memohon turunnya hujan
manakala terjadi musim kemarau panjang. Sayangnya, perhelatan ritual
“Temanten Kucing” kini tak sesakral ritual serupa yang dilangsungkan
pada tahun-tahun sebelumnya. Perhelatan ritual “Temanten Kucing” saat
ini cenderung semakin instan. Banyak tradisi-tradisi unik yang merupakan
bagian dari prosesi “Temanten Kucing” yang kini justru dihilangkan.
Tiga tahun lalu, suasana sakral masih mewarnai prosesi “Temanten
Kucing”. Saat itu, prosesi ritual ini masih menampilkan sejumlah
keunikan. Misalnya, ketika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi
pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan
tembang dolanan khas Jawa. “Uyek-uyek ranti, ono bebek pinggir kali,
nuthuli pari sak uli, Tithit thuiiit… kembang opo? Kembang-kembang
menur, ditandur neng pinggir sumur, yen awan manjing sak dulur, yen
bengi dadi sak kasur,” Begitu syair tembang dolanan berbahasa Jawa yang
tiga tahun lalu masih dilantunkan wanita-wanita tua dalam ritual
“Temanten Kucing”.Tembang dolanan itu dilantunkan seraya memegangi dua
tangan pasangan pengantin kucing. Usai melantunkan tembang dolanan,
mereka melempar-lemparkan buah pisang ke arah ribuan warga. Karuan saja,
warga yang berjubel menyaksikan jalannya ritual “Temanten Kucing’
saling berebut buah pisang yang diyakini bisa memberikan berkah. Namun,
dalam prosesi “Temanten Kucing” yang dihelat Minggu pukul 10.30
WIB, keunikan-keunikan semacam ini sudah tidak tampak lagi. Prosesi
mempertemukan pasangan “Temanten Kucing” cukup dihelat dengan pembacaan
doa yang diikuti sejumlah sesepuh desa. Begitu doa-doa selesai, maka
tuntas sudah perhelatan pengantin kucing. Sehingga timbul kesan, ritual
“Temanten Kucing” cenderung simple dan instan. Ambengan (sesajian) yang
disuguhkan di pelaminan kucing lanang (kucing jantan) dan kucing wadon
(kucing betina) juga tak sesemarak ritual serupa sebelumnya. Biasanya,
warga menyediakan ambengan lengkap dalam jumlah banyak. Namun, kali ini
terlihat hanya ada sebuah ambengan yang ditaruh di dekat kursi pelaminan
pengantin kucing. Toh demikian, ritual “Temanten Kucing” tetap saja
berlangsung marak. Maklum, ritual ini memang diyakini warga setempat
sebagai wahana untuk memohon turunnya hujan. ‘’Awalnya, tradisi
“temanten Kucing” memang menjadi sarana nenek moyang untuk memohon
turunnya hujan,” kata Kepala Desa Pelem, Nugroho Agus, SE yang juga
tokoh sentral penyelenggara ritual ini. Agus menceritakan, upacara
ritual “Temanten Kucing” dirintis ratusan tahun silam. Awalnya, daerah
Pelem dilanda kemarau panjang yang membuat warga kebingungan mendapatkan
air. Eyang Sangkrah, tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika mandi
di telaga Coban. Dia mengajak serta seekor kucing condro mowo
piaraannya. Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak
lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja,
warga yang sudah lama menunggu-nunggu turunnya hujan tak bisa
menyembunyikan rasa riangnya. ‘’Mereka yakin, hujan turun ini ada
kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing condro
mowo,” tutur Agus menceritakan asal muasal sejarah “Temanten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali
dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nugroho Agus, Eyang
Sutomejo mendapat wangsit untuk memandikan kucing di telaga. Maka,
dicarilah dua ekor kucing condro mowo. Lalu, dua ekor kucing itu
dimandikan di telaga Coban. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai
mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya. ‘’Saat ini, kami menggelar
ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi,
tradisi ini kami lestarikan untuk nguri-uri warisan nenek moyang,” kata
Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo.
Keaslian ritual “Temanten Kucing” juga kian terkontaminasi seiring
dikemasnya tradisi ini menjadi komoditas wisata. Demi menggaet penonton,
akhirnya prosesi adat ini justru lebih didominasi agenda acara yang
bernuansa intertaint. ‘’Penonton yang datang ke sini, kenyataannya lebih
menunggu pentas dangdut daripada menyaksikan jalannya prosesi ritual
manten kucing,” ungkap Anam, salah seorang peminat ritual tradisional
dari Kecamatan Ngunut, Tulungagung. Upacara ritual ‘Temanten Kucing’
dihelat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung,
Jawa Timur, Minggu .Sepasang kucing lanang (kucing jantan) dan kucing
wadon (kucing betina) dipertemukan layaknya prosesi penganten. Tradisi
rutin yang digelar untuk memohon turunnya hujan ini benar-benar menyedot
perhatian warga. Sekitar pukul 10.30 WIB, prosesi ‘Temanten Kucing’
mulai digelar di lereng pegunungan Coban Desa Pelem. Ikut menyaksikan
ritual tradisional ini, Wakil Bupati Tulungagung, Moh. Athiyah, SH,
Ketua DPRD, Drs Isman, MSi, dan Kepala Disparbud (Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan), Drs Eko Handoyono. ‘’Tradisi ini selalu dilakukan warga
desa kami secara turun temurun. Dalam riwayatnya, upacara “temanten
Kucing” digelar untuk memohon turunnya hujan. Dalam upacara ini,
sepasang kucing jantan dan kucing betina dipertemukan menjadi pasangan
pengantin,” ujar Nugroho Agus, SE, Kepala Desa Pelem yang juga tokoh
sentral pelestari ritual “Temanten Kucing”. Prosesi “Temanten Kucing”
diawali dengan mengirab sepasang kucing jantan dan betina kucing warna
putih yang dimasukkan dalam keranji. Dua ekor kucing itu dibawa sepasang
‘pengantin’ laki-laki dan wanita. Di belakangnya, berderet tokoh-tokoh
desa yang mengenakan pakaian adat Jawa. Sebelum dipertemukan, pasangan
“Temanten Kucing” dimandikan di telaga Coban. Secara bergantian, kucing
jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per
satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi
kembang. Usai dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan.
Di tempat yang sudah disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing
jantan dan betina itu ‘dinikahkan’. Sepasang laki-laki dan perempuan
yang membawa kucing, duduk bersanding di kursi pelaminan. Sementara dua
temanten kucing berada di pangkuan kedua laki-laki dan wanita yang
mengenakan pakian pengantin itu. Upacara pernikahan ditandai dengan
pembacaan doa-doa yang dilakukan sesepuh desa setempat. Tak lebih dari
15 menit, upacara pernikahan pengantin kucing usai. Lalu, prosesi
“Temanten Kucing” dilanjutkan dengan pagelaran seni tradisional Tiban
dan pagelaran langen tayub. Dalam seni tradisional Tiban, beberapa warga
saling adu kekuatan dengan saling cambuk menggunakan lidi pohon aren
yang dipilin. Tanpa mengenakan baju, sepasang warga bergantian adu
cambuk hingga berdarah-darah. ‘’Seni Tiban ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari upacara “Temanten Kucing”. Ini juga bagian dari ritual
untuk memohon turunnya hujan,” ungkap Nugroho Agus di sela-sela memimpin
jalannya prosesi “Temanten Kucing”. Seni Tiban ini kemudian
dirangkaikan dengan pagelaran langen tayub. Beberapa warga laki-laki dan
wanita berpakaian adat Jawa menari-nari diiringi alunan
gendhing-gendhing Jawa. “Tenganten Kucing” ini merupakan tradisi rutin
yang kita gelar setiap musim kemarau,” tegas Agus. Wakil Bupati (Wabup)
Tulungagung, Moh. Athiyah, SH mengatakan, tradisi “Temanten Kucing”
dari Desa Pelem, kini sudah menjadi khasanah kebudayaan nasional.
‘’Beberapa waktu lalu, tradisi “Temanten Kucing’ kita tampilkan di Taman
Mini Indonesia Indah, Jakarta. Jadi, upacara “Temanten Kucing’ sudah
menjadi budaya nasional,” kata Wabup Athiyah. .home
Casinos of 2021 - Drmcd
ReplyDeleteDiscover casinos that have the best games and casinos in 양주 출장마사지 the players want more 부산광역 출장마사지 than slots. Casinos 서귀포 출장안마 with 익산 출장마사지 slots give the player the chance to win a big payout. 여주 출장마사지